Perkembangan perbankan syariah yang tumbuh cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan minat masyarakat mengenai ekonomi syariah semakin bertambah. Dalam perkembangan yang sangat menggembirakan ini disadari oleh banyak pihak bahwa kebutuhan kepada SDM berbasis Syariah merupakan suatu keniscayaan. Kebutuhan adanya SDM yang handal sebagai pondasi berkembangnya ekonomi syariah dalam lembaga keuangan dan perbankan syariah merupakan tantangan yang sekaligus mestinya dijadikan sebagai peluang. Sebagaimana dimaklumi melalui berbagai media dan informasi, Bank Indonesia memprediksi industri perbankan syariah membutuhkan SDM sekitar 50 ribu sampai 60 ribu hingga tahun 2011. Hal tersebut ditetapkan nampaknya, di samping semakin bertambahnya “pemain-pemain baru” lembaga keuangan dan perbankan syariah, sekaligus juga untuk mendorong berkembangnya aset perbankan syariah Indonesia agar tumbuh sebagaimana yang diharapkan. Pridiksi pangsa pasar perbankan syariah (market share) yang pernah diharapkan mencapai angka lima persen pada tahun 2008, ternyata tidak kesampaian. Boleh jadi angka itu ditetapkan tidak realistis, atau sengaja dimunculkan sekedar mendorong tumbuhnya semangat “kerja keras” mensosialisasikan ekonomi dan perbankan syariah. Atau boeh jadi ada hambatan kultural dan atau struktural, sehingga harapan itu tidak tercapai. Disadari memang bahwa semangat “memasyarakatkan ekonomi syariah dan mensyariahkan ekonomi masyarakat” yang pada gilirannya dipilih menjadi ”motto perjuangan” MES, agaknya juga terkait dengan upaya mempercepat petumbuhan ekonomi syariah. Namun seberapa jauh upaya itu dilakukan, setidaknya harus dijawab pada seminar nasional awal tahun Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) yang diselenggarakan pada hari ini. Keberadaan Sumber Daya Manusia (SDM), baik pada aspek kualitas maupun kuantitas memang sangat menentukan kinerja, produktifitas dan keberhasilan suatu institusi. Bagi perbankan syariah sebagai institusi bisnis yang berbasis nilai-nilai dan perinsip-perinsip syariah, kualifikasi dan kualitas SDM jelas lebih dituntut adanya keterpaduan antara “ knowledge, skill dan ability” (KSA) dengan komitmen moral dan integritas pribadi. Penekanan pada aspek moralitas, yang dewasa ini diyakini sebagai “key success factor” (Herman Karta Jaya dan Syakir Sula, 2006: 120) dalam pengelolaan bisnis, lembaga keuangan dan perbankan syariah, yaitu “shiddiq (benar dan jujur), amanah (terpercaya, kredibel), tabligh (komunikatif) dan fathanah (crdas) ” sama pentingnya dengan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan. SDM Syariah yang bekerja di lembaga-lembaga keuangan dan perbankan syariah dewasa ini dianggap untuk sebahagian besarnya hanya SDM “dadakan” dan “karbitan” memenuhi kebutuhan yang mendesak, yang memperoleh ilmu kesyariahannya dalam waktu yang sangat terbatas. Tidak mengherankan, atas dasar pertimbangan profesionalitas dan keunggulan individu, disamping disebabkan keterbatasan jumlah dan kualifikasi yang diperlukan, kasus pembajakan SDM sering terjadi di lingkungan lembaga keuangan dan perbankan syariah. Kondisi semacam ini secara tidak langsung jelas menjadi salah satu penghambat perkembangan lembaga keuangan dan perbankan syariah di Indonesia.
Ilmu Ekonomi Syariah atau yang disebut juga dengan ilmu ekonomi Islam adalah ilmu ekonomi yang bertumpu pada sistem nilai dan perinsip-perinsip syariah. Sistem nilai pada hakikatnya adalah sesuatu yang akan memberi makna dalam kehidupan manusia pada setiap peran yang dilakukannya. Sistem itu terbangun dalam suatu rangkaian utuh yang terjalin sangat erat antara satu dengan yang lainnya. Sistem nilai ini mencakup pandangan dunia (world view) dan moral yang mempengaruhi, membimbing dan membantu manusia merealisasikan sasaran-sasaran humanitarian (insaniyyah) yang berkeadilan dan berkesejahteraan. Sesuai dengan semangat yang terkandung dalam terminologi ekonomi Islam yang berasal dari dua kata, yaitu “al-iqtishad” dan “al-islamiy” menyiratkat pengertian adanya sikap kehati-hatian, tidak boros, pertengahan dan ekonomis seurut dengan watak ajaran Islam. Al-Iqtishad menurut bahasa artinya “al-qasd” kata Rafiq Yunus al-Mishriy, danndari kata itu terkandung makna “al-tawassut” dan “al-i’tidal”. (Yunus al-Mishriy,2005:11). Oleh sebab itu banyak sekali penghargaan di temukan dalam al-Quran terhadap sikap dan perilaku ekonomis yang dinggap sebagai watak dan karakter suatu masyarakat. Masyarakat semacam itu disebut sebagai “ummah muqtashidah” (Q.s. al- Maidah/5:66) yang bersikap tidak boros dan tidak kikir tetapi selalu mengambil sikap tengah (Q.s. al-A’raf/7:31; al-Isra/17:29 dan al-Furqan/25:67). Setidaknya ada empat landasan filosofis ilmu ekonomi syariah yang merupakan paradigma yang membedakannya dari ilmu ekonomi konvensional. Landasan filosofis tersebut adalah tauhid, keadilan dan keseimbangan, kebebasan, dan tangungjawab
Pertama; Tauhid. Tauhid adalah landasan filosofis yang paling fundamental bagi kehidupan manusia. Dalam pandangan dunia holistik , tauhid bukanlah hanya ajaran tentang kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi lebih jauh mencakup pengaturan tentang sikap manusia terhadap Tuhan dan terhadap sumber-sumber daya manusia maupun alam semesta. Aspek emensipatoris dari ajaran Tauhid juga berfungsi untuk membangun kualitas-kualitas individu, sekaligus juga membina kualitas-kualitas
masyarakat, yang keanggotaannya terdiri dari pribadi-pribadi yang serupa.(Nurcholis Majid,1992:85). Tauhid bukan saja mengandung makna keyakinan tentang ke-Esaan Allah (Q.s al-Baqarah/ 2: 163 ; al-Ikhlash/112:1-4 dll.), tetapi juga ajaran tentang “kesatuan penciptaan” (Q.s al-An’am/6:102; al Ra’ad/13:16; Fathir/35:3; al- Zumar/39:62; al-Mu’min/40:62; al-Hasyar/59:24 dll), “kesatuan kemanusiaan” (Q.s. al- Baqarah/2:213; al-Maidah/ 5:48 dll), “kesatuan tuntunan hidup” (Q.s. Ali Imran/3:85; al- Nisa/4:125 dll.) dan “kesatuan tujuan hidup” baik sebagai hamba Allah ( Q.s al- Taubah/9:31; al-Dzariyat/51:56) maupun khalifah Allah (Q.s al-Baqarah/2:30; al- An’am/6:165). Pengejewantahan pandangan hidup yang holistik ini di masa-masa awal Islam terlihat jelas sekali pada semua bidang kehidupan, baik pada bidang sosial politik maupun pada sosial ekonomi. (Nuruddin:Keadilan, 2008:190) Dalam pandangan tauhid, manusia sebagai pelaku ekonomi hanyalah sekedar ”mustakhlif” (trustee) , yaitu menguasai sebagai pemegang amanah Allah (Q.s al- Hadid/57:7). Oleh sebab itu, manusia harus mengikuti ketentuan Allah dalam segala aktivitasnya, termasuk aktivitas ekonomi. Ketentuan Allah yang harus dipatuhi dalam hal ini tidak hanya bersifat mekanistis dalam alam dan kehidupan sosial , tetapi juga yang bersifat teistis (rabbaniyyah), moral dan etis (khuluqiyyah).